Melintasi Waktu Melalui Kafe Funiculi Funicula



Kehilangan orang terkasih, atau mungkin kamu yang akan meninggalkan mereka di kemudian hari tentu menjadi wacana yang tak menyenangkan. Beberapa dari mereka selalu berharap agar bisa melintasi waktu, untuk sekedar bertemu dengan sang tersayang.

Sekarang bagaimana kalau kamu bisa bertemu dia kembali?

Sebuah kafe tua bernama Funiculi Funicula bisa membawamu melintasi waktu dan bertemu dengan siapapun yang kamu inginkan. Kamu bisa kembali ke masa lampau maupun ke masa depan hanya dengan duduk di salah satu kursi yang selalu ditempati oleh hantu yang tak pernah berhenti menatap buku di tangannya. Saat hantu itu menutup buku dan berjalan ke toilet, bergegaslah untuk duduk di kursinya, dan pramusaji akan menyiapkan secangkir kopi di hadapanmu agar kamu bisa kembali ke masa yang kamu inginkan.

Sayangnya hal ini hanya terjadi di dalam sebuah novel berjudul Funiculi Funicula. Sang penulis, Toshikazu Kawaguchi dalam bukunya menciptakan sebuah kafe di mana orang-orang bisa pergi ke waktu yang diinginkannya, dan melepaskan semua peyesalan yang selama ini bersarang di dalam hatinya.

Total ada 3 buku berseri yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang menceritakan kisah-kisah orang yang ingin pergi ke suatu waktu, untuk melepaskan semua rindu dan penyesalan yang tak bisa hilang di dalam hati mereka. Before The Coffe Gets Cold, Kisah-Kisah yang Belum Terungkap, dan Dona Dona adalah urutan dari 3 seri buku Funiculi Funicula.

Sahabat, pasangan, orang tua, siapapun bisa mereka temui dengan syarat orang tersebut haruslah pernah mengunjungi kafe ini. Beragam emosi mereka sampaikan walau dengan waktu yang sangat terbatas.

Toshikazu Kawaguchi menurutku mampu menyampaikan emosi dari masing-masing tokoh yang melintasi waktu. Rasa rindu yang tak pernah dituliskannya bahkan bisa sampai kepada para pembaca. 

Dan jangan lewatkan konflik batin yang dimiliki Kazu Tokita, sang pramusaji yang selalu berekspresi datar. Di buku kedua, banyak cerita tentangnya yang ternyata saling memiliki keterkaitan dengan hantu yang selalu duduk di sana, dengan buku di tangannya. 

Terakhir, buku ini cocok untuk kamu yang sedang merasa kesepian. Buku ini mampu menyadarkan betapa berharganya seseorang, sebelum kamu menyadari seseorang itu akan pergi untuk selamanya tanpa bisa lagi kamu temui di dunia. Dan jangan lupakan tentang rasa penyesalan yang dialami oleh para pengunjung yang melintasi waktu. 

Waktu yang berharga tak dapat diulang, jadi pergunakan waktumu dengan sebaik-baiknya terutama dengan orang terkasih.

Semua Orang Ditakdirkan Menjadi Penjual



Saya dulu pernah beranggapan gak akan menjadi wirausaha, persis seperti yang kedua orang tua saya pernah jalani. Alasannya satu, saya gak bisa jualan.

Tapi begitu dewasa, kenyataan pahit menerjang alasan klise yang saya buat di usia labil itu. Menyadari bahwa yang sedang saya lakukan saat itu (mengirimkan lamaran ke beberapa perusahaan) termasuk kegiatan menjual. Iya, menjual skill yang saya punya, untuk ditukar dengan rupiah di akhir bulan.

Rupanya skill berjualan itu yang seharusnya saya asah sedari dini. Misal saya gak berwirausaha, setidaknya saya mampu show off tentang kemampuan yang saya miliki, seperti pedagang yang menjual barang unik layaknya show di pasar-pasar. Jadi gak ada lagi tuh adegan drama nganggur berbulan-bulan.


Pekerja = Penjual

Gak cuma pedagang yang menjual barang dagangan. Kamu yang bekerja 9-5 di kantor juga seorang penjual. Cuma bedanya, yang kamu jual adalah skill kamu. Kemampuan yang dibayar oleh perusahaan.

Content creator? Seniman? Mereka semua juga menjual. Seniman menjual seni yang mereka ciptakan, dan content creator menjual kontent yang mereka buat.

Saya jadi ingat seseorang pernah bilang, kalau kamu punya kemampuan menjual, maka apa saja bisa menghasilkan. Bahkan tanpa modal sekalipun.



Kamu Gak Perlu Merasa Bersalah Saat Membaca Novel



Kamu yang suka baca atau bahkan baru mulai membaca, pasti ada kalanya pernah merasa berdosa karena terus-terusan membaca novel, yang kata orang gak ada gunanya. Gak perlu takut, semua orang juga pernah merasa hal yang sama, kok!

Tapi ada hal yang kamu lupa, terkadang ada hal yang gak butuh alasan untuk kamu sukai. Novel mungkin terkesan tak punya arti khusus, cuma sekedar pelarian dari kehidupan yang melelahkan. Tapi sebenarnya, novel juga punya segudang manfaat, tanpa kamu sadari.

Kamu yang sekarang suka baca buku, pasti awalnya dari buku cerita, bukan? Waktu kecil kamu pasti pernah membaca buku cerita, majalah, atau komik yang sebenarnya juga lebih bersifat hiburan. Tapi kenapa saat dewasa jadi anti banget sama novel?


Novel bukan sekedar hiburan

Novel atau buku fiksi yang kamu baca itu sebenarnya punya manfaat besar dalam menumbuhkan empati di dirimu. Terutama semakin dewasa, kita cenderung mengutamakan logika di atas segalanya. Dan novel jadi salah satu pelarian agar tetap bisa menjadi 'manusia'. 

Novel itu seolah menggambarkan kehidupan orang lain dengan segudang masalah yang mungkin gak pernah kita alami dalam hidup. Dan hal itu yang mengajarkan kita rasa dari hal yang belum pernah kita coba.

Novel menciptakan rasa baru yang belum pernah kita rasakan. Persis seperti seseorang yang mencoba rasa makanan dari kedai lain. Tampilannya mungkin sama seperti makanan yang dihidangkan di kedai langganan. Namun rasa, tentu masing-masing orang memiliki kemampuan menciptakan rasa yang berbeda.


Novel tak bisa digantikan oleh buku nonfiksi

Ada salah satu tulisan saya tentang apakah nonfiksi lebih baik dari fiksi. Pada kenyataannya, setelah kamu membacanya kamu pasti mengerti bahwa keduanya tak bisa saling tergantikan. 

Kamu butuh keduanya untuk bisa tetap hidup. Butuh novel fiksi untuk menjagamu menjadi 'manusia', dan butuh buku nonfiksi untuk menjaga otakmu tetap berfungsi dan bermanfaat di kemudian hari.

Tak ada yang salah antara membaca novel, komik, artikel, jurnal, self development, dan sebagainya. Masing-masing tulisan memiliki perannya masing-masing. Hanya tinggal kamu yang memilah, mana yang sekiranya bermanfaat dan mana yang tidak.

Tak perlu merasa bersalah ketika kamu membaca novel. Karena novel justru akan membawamu mengenal buku-buku luar biasa lainnya.


2 Minute Rule : Trik Simpel Buat Kamu Atasi Rasa Malas



Berawal dari muncul satu video di beranda Youtube berjudul "Untuk yang ambisius tapi malas," saya jadi menemukan konsep menarik untuk mengatasi rasa malas di mana saya kesulitan untuk konsisten terutama dalam hal menulis. 

Konsep yang akan saya bahas sekaligus dijabarkan pada video tersebut bernama 2 minutes rule. Dalam video tadi, dijelaskan bahwa konsisten bisa dimulai dari hal remeh-temeh, seperti yang saya tulis dalam artikel sebelumnya, dan kemudian dilanjutkan dengan trik melawan rasa malas hanya dalam waktu 2 menit.


Apa itu 2 minute rule?

Konsep 2 minute rule sebenarnya populer banget di dunia produktivitas. Sederhananya, kalo kamu lagi di momen maleees banget, paksa diri untuk melakukan aktivitas tersebut selama 2 menit. 

Iya, 2 menit. Beneran deh cuma 2 menit aja.

"Lah, kalo misal lagi males masak, terus cuma masak 2 menit mana jadi, Kak?"

Nah itu dia kunciannya. Kamu lakukan aja hal yang biasa kamu lakukan di awal saat ingin memasak. Misal, keluarin berbagai bahan makanan yang diperlukan dan mulai mencuci bersih segala sayur dan bahan lain. Kalau udah lewat 2 menit ya udah, kamu bebas mau balikin bahan-bahan tersebut ke dalam kulkas lagi atau lanjut masak.

"Ya sama aja dong, mending sekalian aja masak sampe selesai."

Justru itu tujuannya. Hahaha...

Sadar gak sih, kamu tuh cuma butuh 'penggerak'. Ibarat setrikaan, harus dicolokin dulu di saklar biar bisa panas, baru bisa dipakai. Kalau gak dicolok, ya gak akan bisa dipakai setrikanya.

"Oo, jadi cuma kayak ngumpulin niat, ya?"

Oh, jelas beda! Kalau cuma sekedar niat, mau nunggu sampe upin-ipin jadi boyband juga gak akan terlaksana. Yang kamu butuhin cuma satu, "bergerak", udah itu aja. Bergeraknya pun cuma 2 menit, gak lebih, gak kurang.

Gampang, kan?


Setelah 2 menit harus apa?

Setelah 2 menit kamu berkutat di kegiatan tersebut, kamu bebas kok melakukan apapun. Mau lanjut silahkan, mau rebahan lagi ya monggo. Hak kamu mau melakukan apa setelah 2 menit itu.

Yang penting, kamu bergerak. 

Masih ingat kan artikel sebelumnya yang tentang belajar konsisten dari hal kecil? Kamu cuma butuh mulai sedikit daripada gak sama sekali. Lebih baik naik 1%, atau bahkan 0,0001% setiap harinya daripada cuma 0.

Jadi ya... bergerak aja dulu, 2 menit aja.


Belajar Menjadi Konsisten dari Hal Kecil



Kamu pasti pernah merasa semangat di awal waktu. Membuat berbagai target yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu, namun begitu dijalankan cukup sulit untuk konsisten dan membiasakan diri menjalankannya, bukan?

Konsisten memulai hal baru bukanlah hal yang mudah. Terlebih kamu harus membiasakan diri untuk menambah suatu hal yang sebenarnya tak pernah ada dalam keseharianmu. 

Kamu tak sendiri, semua orang pasti pernah merasa semangat di awal, lantas mulai malas dan berhenti di pertengahan. Namun hal yang akan kamu baca berikut ini, mungkin bisa mengubah isi pikiranmu, dan menganggap konsisten menjadi hal yang sangat sederhana, bahkan terkesan mudah dilakukan.


# Mulai dari hal yang sederhana

Kamu yang kesulitan konsisten, coba buat target yang rumit itu ke dalam satu hal yang sederhana. Misal kamu ingin konsisten untuk berolahraga pagi, kamu tak perlu memaksa diri untuk bangun dan berjalan 10,000 langkah. Mulailah dari hal paling kecil, yaitu memaksa diri untuk bangkit dari kasur setiap pagi, berjalan menuju teras, dan mulai dengan melakukan peregangan. 

Tambah kebiasaan lain sedikit demi sedikit, tapi tak perlu terlalu rutin merubah kebiasaan. Ciptakan perubahan sekecil mungkin, hingga kamu tak menyadari bahwa sesuatu telah berubah pada dirimu.

Hal ini juga berlaku untuk kegiatan lain yang ingin kamu jadikan kebiasaan di hidupmu. Seperti konsisten membaca buku, kamu bisa memulainya dengan membaca 1 halaman, atau bahkan 1 paragraf setiap hari alih-alih menargetkan membaca 1 atau 2 buku selama satu minggu.


# Memulai sedikit jauh lebih baik daripada tidak sama sekali

Jangan kamu pikir kebiasaan kecil tak akan mengubah apapun. Justru hal kecil itu yang akan membawamu pada hal-hal besar lainnya. Mulailah, tak peduli semalas apa dirimu, tak peduli seberapa lelahnya tubuhmu. Cukup lakukan semampu yang kamu bisa. 

Asalkan kamu tak melewatkan waktu satu haripun, percayalah, kebiasaan itu lama-kelamaan akan berkembang menjadi lebih baik lagi.


# Jadi, sudah siap untuk menyambut versi terbaik dirimu?

Tak perlu takut akan berhenti di tengah jalan, tak perlu memikirkan hal lain setelahnya. Cukup fokus pada perubahan-perubahan kecil yang akan dirimu dapatkan setiap harinya.

Ingat, semua orang akan memulai dari 0. Lebih baik hanya bertambah 1% setiap harinya hingga mencapai 100%. Karena perjalanan dari 0 ke 100 akan membuatmu terbiasa bahkan tanpa kamu sadari. Mulailah mengisi tangki terbaikmu, setetes demi setetes.

Bertahan Hidup di Tengah Dunia yang Semakin Menuntut



Kamu yang sekarang sedang berada di usia produktif, sadar gak kalau semakin lama dunia semakin bergerak cepat? Baru mulai merintis karier, eh dunia kerja sudah penuh ketidakpastian. Pemberitaan PHK seolah jadi makanan sehari-hari.  Belum lagi harga bahan pokok yang terus meningkat, dan sederet berita lain yang memicu rasa putus asa.

Di zaman seperti sekarang ini, kerja keras saja tak cukup untuk bisa menghasilkan uang. Kemampuan yang kamu miliki? Ada jutaan orang di luar sana yang punya kemampuan serupa. Berkembangnya teknologi juga semakin membuat semuanya lebih kompetitif. Bahkan seseorang nun jauh di sana bisa dengan mudah terlihat dan bersaing denganmu. 

Perusahaan tentu ingin mendapatkan karyawan dengan skill terbaik dengan biaya paling efisien. Kamu yang terlalu menuntut, bisa menjadi bumerang di kemudian hari. Pun bila kamu menurunkan standar. Justru rawan diperas dengan iming-iming, "Gak apa-apa, toh yang penting kamu bekerja."

Sebegitu sulitkah bekerja di tanah air beta saat ini?


Tekanan ekonomi dan sosial yang nyata

Dulu, gak perlu jadi sarjana buat bisa kerja bagus di depan meja. Cukup andalkan keyakinan dan kerja keras, semua bisa dilakukan. Namun bila kamu masih menerapkannya saat ini, sudah pasti kamu akan kesulitan bertahan.

Coba perhatikan, berapa banyak jumlah lulusan dan bandingkan dengan lowongan kerja yang tersebar? Bukannya semakin banyak, justru lowongan pekerjaan semakin terbatas, bukan? 

Belum lagi perihal pemutusan hubungan kerja di sejumlah perusahaan ramai dibicarakan. Ekonomi yang gak pasti bikin perusahaan terpaksa ambil keputusan sulit. Bahkan semakin lama, memiliki dua atau tiga pekerjaan sekaligus menjadi suatu keharusan demi bertahan hidup di era ketidakpastian.


Ekspektasi semakin meninggi

Usia matang datang dengan beban harapan. Tantangan berhasil di usia muda, lantas menjalankan serangkaian hal yang didikte lewat kebiasaan masyarakat seolah menjadi sebuah keharusan. Hidup seakan jadi perlombaan.

Kamu belum punya rumah, dianggap gagal. Belum memiliki kendaraan, dianggap orang susah. 

Lantas muncul sekelompok orang yang membandingkan anak-anak muda saat ini dengan masa lampau. Dianggap zaman dulu anak mudanya lebih mudah menghasilkan uang. Padahal kondisi sekarang jauh berbeda. Kompetisi makin ketat, standar makin tinggi.

Jangan tanya dengan orang-orang yang mematok kesuksesan dari media sosial. Membandingkan diri dengan seseorang yang sudah berada di atas. Padahal di atas atap masih ada langit. 

Membandingkan keberhasilan tak akan pernah ada habisnya.


Lantas bagaimana cara untuk bertahan?

Tutup mata dengan segala pencapaian orang lain di media sosial. Itu mungkin cara paling jitu untuk tetap waras di kondisi ekonomi saat ini. Fokus pada apa yang bisa dikelola, bukan pada hal yang tak bisa diutak-atik.

Kamu penulis? Fokus pada pengembangan tulisanmu. Kamu pengusaha? Perkuat produk dan layananmu. Jangan jadikan keberhasilan orang lain menjadi patokan keberhasilanmu. Karena yang penting untuk dilakukan saat ini adalah tetap waras, tetap belajar, dan percaya bahwa kamu bisa bertahan, dan mungkin suatu hari nanti kamu juga akan menang. 


Apa yang Hilang di Lebaran Kali Ini?



Ramadan telah usai, digantikan oleh Lebaran yang semua orang anggap sebagai hari kemenangan. Momennya jelas terlihat dari berkumpulnya seluruh anggota keluarga. Toples kue berjejer menghiasi meja yang biasanya hanya berisi remote tv dan segala barang tak jelas, juga aroma rendang dan kawan-kawannya yang tercium hampir di setiap rumah.

Semua terdengar selayaknya Lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun entah mengapa, Lebaran kali ini terasa agak ... kosong.

Bukan, bukan tak mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan, namun rasanya ada yang hilang dari momen Lebaran kali ini.


Ada yang berubah, tapi apa?

Waktu kecil, kita selalu menunggu bulan Ramadan hingga Lebaran tiba. Berjalan-jalan seusai salat subuh berjamaah, bermain sebentar saat pagi, kelelahan dan berujung tertidur pulas saat siang, dan kesulitan menahan rasa haus bahkan saat waktu Maghrib hanya tinggal menunggu beberapa menit saja.

Menjelang Lebaran, kita sudah dihebohkan dengan kegiatan mencetak kue di loyang, dan pergi ke pasar demi menemukan baju baru dan beragam hal lain yang serba baru sebagai reward atas sebulan penuh menjalankan ibadah puasa.

Namun semakin bertambahnya usia, rasanya kita tak lagi membutuhkan itu semua. Baju baru tak lagi terkesan wah, kue di toples tak perlu lagi dibuat susah payah. Belakangan, serasa ada yang hilang dari Lebaran kali ini.


Lebaran di tengah sekumpulan distraksi

Tahun demi tahun, hidup berganti fase. Yang dulunya disebut keluarga, nampaknya mulai kehilangan esensinya, tergantikan oleh layar di tangan.

Bukannya berebut cokelat, tapi berebut colokan. Tren video lebih penting dari sekedar sungkeman. Yang sama baik dulu dan sekarang adalah sama-sama menundukan kepala. Namun kali ini bukan untuk merenungi kesalahan, melainkan demi mencari keramaian di layar tipis menyala di tangan.

Semakin lama, Lebaran hanya terasa seperti hari-hari pada umumnya.


Lantas apa yang sebenarnya kita cari?

Bila dulu saat masih kecil yang kita tunggu-tunggu saat lebaran adalah baju baru, THR, serta kue-kue lezat, kini setelah dewasa yang dibutuhkan hanyalah kehangatan. Kehangatan untuk bersama, kehangatan untuk saling bercengkerama.

Sampai akhirnya kita menyadari satu hal. Yang hilang bukanlah benda, melainkan rasa. Nampaknya layar kecil itu mulai terasa mengganggu. Menghilangkan ketenangan yang selama ini kita dapatkan di momen Lebaran.

[Review Tren] Ghibli-field Pakai AI : Seru, Aesthetic, tapi Ada Catatannya!



Belakangan ini ramai postingan foto saat Lebaran dengan merubah foto asli menjadi gambar ilustrasi yang menyerupai gambar-gambar khas dari Studio Ghibli. Nuansa hangat khas Ghibli juga terasa dalam hasil gambarnya.

Gambar tersebut dihasilkan oleh fitur terbaru dari ChatGPT, yaitu GPT-4o. Membuat banyak orang merubah foto miliknya menjadi berbagai macam tampilan ilustrasi menarik, di mana salah satunya adalah gambar khas dari Studio Ghibli.

Namun tahukah kamu, pendiri studio Ghibli, Hayao Miyazaki, pernah berkata dalam salah satu dokumenter di tahun 2016 bahwa ia tidak akan pernah  mau memasukkan teknologi AI ke dalam karyanya?


# Tanggapan Hayao Miyazaki terhadap AI

“Setiap pagi, dalam beberapa hari terakhir, saya melihat teman saya yang memiliki disabilitas. Sangat sulit baginya untuk sekadar melakukan tos; lengannya yang berotot kaku tidak dapat menjangkau tangan saya. Sekarang, ketika memikirkannya, saya tidak bisa menonton hal-hal ini dan menganggapnya menarik. Siapa pun yang menciptakan hal-hal ini tidak tahu apa itu rasa sakit,” ujar Miyazaki, kepada AP News.

“Saya benar-benar merasa bahwa ini merupakan penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri,” tambahnya.

Sejak dulu Ghibli terkenal dengan proses pembuatan animasi tradisional yang cukup rumit. Digambar dengan tangan, bingkai demi bingkai, sehingga pengerjaan untuk beberapa menit animasi saja bisa memakan waktu hingga beberapa bulan.

Mendapati teknologi AI yang dapat menciptakan gambar hanya dengan prompt yang ditulis dengan memakan waktu beberapa detik saja tentu membuat para animator merasa was-was dan tak nyaman. Apalagi AI bisa mengambil dari sumber mana saja, tanpa ada izin apapun.


# Fomo menghasilkan tren yang mulai mengkhawatirkan

Bayangkan kamu susah payah menciptakan suatu karya khas dirimu. Berlatih setiap hari hingga rela mengorbankan jam tidurmu, bahkan tak sempat bermain dengan teman-temanmu demi bisa membuat karya orisinil yang mencirikan dirimu. 

Lantas datanglah AI yang mengambil karyamu tanpa izin sebagai database, lantas orang-orang dengan mudah menduplikasi tanpa harus belajar bertahun-tahun dan bisa menghasilkan karya yang sama bagusnya. Apa yang kamu rasakan?

Marah? Kesal?

Tentunya kamu merasa tak adil dengan semua yang susah payah kamu buat diduplikasi seenaknya, tanpa izin darimu, bukan?


# AI bukan jaminan 

Bagi sebagian besar orang, membuat sesuatu mengikuti tren tentu menjadi hal yang seru dan menyenangkan. Karya yang dihasilkan oleh AI sendiri juga sebagian besar menghasilkan karya yang menarik dan luar biasa, terutama bagi orang-orang yang bukan seniman.

Namun kemudahan yang didapatkan dari teknologi AI bukan berarti bebas digunakan, walau mungkin banyak orang yang melakukannya. Ada yang namanya hak cipta, serta kode etik untuk memposting segala sesuatu di sosial media, dan hal itu yang harus ditanamkan ke dalam diri masing-masing.

Tak ada larangan dalam penggunaan AI, namun bijaklah dalam penggunaannya agar tak merugikan orang lain. Manfaatkan kelebihannya agar bisa menyerap informasi sebanyak-banyaknya, dan beri batasan terkait sejauh mana AI dapat memengaruhi cara pandangmu.