Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982: Realitas Pahit Kehidupan Para Perempuan

Kim Ji-yeong adalah anak perempuan yang terlahir dalam keluarga yang mengharapkan anak laki-laki, yang menjadi bulan-bulanan para grup pria di sekolah, dan yang disalahkan ayahnya ketika ia diganggu anak laki-laki dalam perjalanan pulang dari sekolah di malam hari.

Kim Ji-yeong adalah mahasiswa yang tidak pernah direkomendasikan dosen untuk pekerjaan magang di perusahaan ternama, karyawan teladan yang tidak pernah mendapat promosi, dan istri yang melepas karier serta kebebasannya demi mengasuh anak.

Kim Ji-yeong mulai bertingkah aneh.

Kim Ji-yeong mulai mengalami depresi.

Kim Ji-yeong adalah sosok manusia yang memiliki jati dirinya sendiri.

Namun, Kim Ji-yeong adalah bagian dari semua perempuan di dunia.

Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 adalah novel sensasional dari Korea Selatan yang ramai dibicarakan di seluruh dunia. Kisah kehidupan seorang wanita muda yang terlahir di akhir abad ke-20 ini membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang prektik misoginis dan penindasan institusional yang relevan bagi kita semua.

Detail buku:
Judul Buku: Kim Ji-Yeong
Tahun terbit: 2019
Penulis: Cho Nam-Joo
Jumlah halaman: 192 halaman
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta

# Kehidupan Kim Ji Yeong dan para perempuan di sekitarnya

Buku ini terbagi ke dalam 6 bab, di mana pada setiap bab diceritakan tentang kehidupan Ji-Yeong dalam rentang tahun tersebut serta banyak memuat kisah masa lalu tentang para perempuan di sekitarnya.

Kim Ji-Yeong, anak ke dua dari 3 bersaudara. Kakaknya perempuan, dan adiknya laki-laki. Dan seperti yang kita pahami, laki-laki di keluarga tersebut menjadi anak yang dinantikan. Anak yang ditunggu-tunggu kehadirannya, terutama karena dia laki-laki. Adiknya juga menjadi cucu kesayangan neneknya dan tak diizinkan melakukan pekerjaan rumah apapun, namun diberi segala macam kebutuhan yang jelas-jelas sulit untuk kedua kakak perempuannya dapatkan.

Menariknya, selama Ji Yeong kecil hingga besar diceritakan bagaimana kehidupan para perempuan, tak hanya dirinya, melainkan orang di sekitarnya seperti ibu serta neneknya, Go Sun-Bum.

Diceritakan bahwa neneknya lah yang membesarkan keempat anak laki-lakinya, meski sebenarnya ia memiliki suami. Kehidupan Go Sun-Bum yang penuh kesulitan serta budaya patriarki yang sangat erat pada jamannya tampaknya ikut memengaruhi pola pikirnya.

Ia yang tinggal bersama anak ketiganya, yaitu ayah dari Kim Ji-Yeong terus mendesak ibu Ji Yeong agar memiliki anak laki-laki. Hingga akhirnya ia terpaksa menggugurkan bayi perempuannya yang seharusnya menjadi adik Ji-Yeong sebelum akhirnya melahirkan seorang putra.

Tak jauh berbeda dengan kehidupan Go Sun-Bum yang cukup sulit, ibu Ji-Yeong, Oh Mi-Sook, juga menjalani kehidupannya yang berat sejak kecil. Di zamannya, para anak perempuan akan ikut bekerja demi membuat saudara laki-lakinya bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Oh Mi-Sook tak pernah berhenti bekerja hingga kedua saudara laki-lakinya sukses dan bekerja di perusahaan bagus, sementara ia tak mendapatkan apapun dan harus meredam mimpinya untuk menjadi seorang guru.

Setelah menikah ia pun turut membantu keuangan keluarganya. Mengerjakan apapun yang bisa dikerjakan seorang ibu rumah tangga sepertinya, demi kehidupan keluarganya tercukupi. Beratnya hidup sangat terasa di kehidupannya. Di satu sisi ia ingin semua anaknya mendapatkan hak yang sama, tak peduli itu laki-laki ataupun perempuan. Namun tampaknya dunia tak benar-benar berubah.

Beralih ke kehidupan saat Kim Ji-Yeong dewasa, ia mungkin tak begitu mendapatkan diskriminasi karena atasannya juga seorang perempuan. Namun ada masa di mana ia dan karyawan wanita lainnya harus menahan pahit kekecewaan atas usaha keras mereka yang tak membuahkan hasil sepadan hanya karena mereka seorang perempuan.

Belum lagi saat di mana ia harus menyerah pada kariernya karena kehamilannya. Di satu sisi ia tak ingin melepaskan mimpinya, namun di sisi lain ia tak ingin menjadi ibu yang tak becus karena melepaskan kewajibannya untuk merawat anaknya. Dan di saat itulah depresi menyergap dirinya. Membuatnya mendadak menjadi orang lain tanpa sadar, sambil mengutarakan berbagai opini sedih dari sosok yang ia perankan.


# Apakah salah saat perempuan mengejar mimpinya?

Ada bagian yang paling saya sukai di bab terakhir buku ini. Di mana Kim Ji Yeong beradu argumen dengan suaminya tentang bagaimana ia mungkin akan kehilangan masa muda, kesehatan, pekerjaan, rekan-rekan kerja, teman, rencana hidup, bahkan masa depan begitu ia memiliki anak. Namun bagaimana dengan suaminya. Apa yang hilang darinya?

Pandangan dunia terhadap para perempuan yang memutuskan merawat anaknya dan melepas pekerjaannya seolah-olah adalah hal yang menyebalkan namun harus dilakukan. Hingga laki-laki akan berpikir untuk apa mereka berusaha keras bila pada akhirnya melepaskan kariernya?

“Untuk apa berusaha sebegitu keras bila pada akhirnya kau melepaskan mimpimu? Karena itulah aku tak begitu suka bekerja dengan perempuan.”

Kalimat itu terasa sangat menyakitkan, namun anehnya rasa kecewa itu tak bisa diutarakan.


# Review novel Kim Ji-Yeong, Lahir 1982

Buku ini menggambarkan perjuangan feminisme dan bagaimana para perempuan mencoba lepas dari budaya patriarki dan misoginis. Hal yang semestinya didapatkan oleh semua orang secara sama rata, tanpa berpegang pada gender menjadi hal yang sulit untuk diperjuangkan.

Sejujurnya, semua yang diceritakan terasa relevan untuk semua perempuan di dunia. Walau untuk beberapa cerita terkesan berlebihan karena perbedaan budaya. Namun hal itu tak memengaruhi esensi dari pesan yang ingin disampaikan oleh penulis.

Jika saya boleh memberi saran, buku ini semestinya ditujukkan kepada semua golongan. Tak peduli laki-laki atau perempuan, kaya ataupun miskin, muda ataupun tua. Sayangnya lebih terkenal di kalangan perempuan.

Jangan pernah berharap akan ada happy ending saat kamu selesai membacanya, karena nyatanya akan berakhir open ending. Para pembaca akan diajak berpikir, apa yang benar-benar tepat untuk perempuan? Yang hingga saat ini saya masih tak menemukan jawabannya.


# Bukan Sekadar Fiksi: Kisah Kim Ji-Yeong yang Terlalu Nyata

Cho Nam-Joo memberikan kutipan menarik di akhir tulisannya, “Kita semua adalah Kim Ji-Yeong.”

Dan bagaimana nama itu terpilih sebagai pemeran utama karena nama tersebut adalah nama yang paling umum dipakai sebagai nama perempuan di Korea Selatan. Mungkin persis seperti nama Siti bila digunakan di Indonesia.

Kamu yang seorang perempuan saat membaca buku ini pasti sedikit banyak pernah merasakan hal-hal yang dituangkan penulisnya di kehidupan nyata. Tentang bagaimana pandangan dunia terhadap perempuan, yang pada akhirnya harus kembali menjalankan kehidupan layaknya perempuan lainnya yang tak jauh berbeda dengan zaman-zaman sebelumnya.


# Diadaptasi menjadi film

Film dengan judul yang sama tayang perdana pada tahun 2019. Saat pertama kali tayang, film ini ramai dibicarakan tak hanya di Korea Selatan, namun juga di negara-negara lainnya.

Kamu yang belum membaca novelnya mungkin akan dibuat bingung dengan alur cerita yang maju mundur. Terlebih ada banyak scene penting yang tidak masuk ke dalam film, sehingga mengurangi pesan moral mendalam yang ingin disampaikan oleh penulisnya.

Saran saya, sebaiknya baca novelnya terlebih dahulu, baru lanjutkan dengan menonton filmnya. Karena dari yang saya rasakan, pada filmnya lebih fokus pada penyakit mental yang dialami oleh sang tokoh utama dan menghapus banyak cerita penunjang yang sebenarnya sayang untuk dilewatkan.

Bila ingin membacanya secara gratis, kamu bisa meminjam ebooknya secara legal di aplikasi iPusnas. Tak perlu  khawatir kehabisan dan mengantri berbulan-bulan, karena ada total 350 copy ebook yang bisa dipinjam oleh para anggota.


 Rate: 4.5/5