Menulis untuk Jiwa : Saat Kata-Kata Menyembuhkan Luka
Beberapa tahun yang lalu saya pernah merasakan stress berat.
Satu minggu sebelum sidang skripsi, saya terkena musibah. Jatuh dari motor dan tulang
lengan saya bergeser. Rasanya sakit sekali.
Keluarga saya lantas mengajak ke dua tempat pengobatan
alternatif, yang walau sembuhnya butuh waktu lebih lama, namun tulang lengan
saya bisa kembali ke posisi semula tanpa operasi. Walau rasanya sangat luar
biasa menyakitkan.
Saya menjalani sidang dengan salah satu lengan dililit
perban, lengkap dengan dua papan di kedua sisi lengan yang mereka bilang untuk
menahan tulang agar tidak bergeser lagi.
Apakah sidang saya berhasil?
Ya, sidang berjalan dengan baik. Namun saya tak bisa
beraktivitas sebagaimana mestinya.
Beberapa bulan setelahnya saya menjalani proses wisuda. Perban
sudah dilepas, namun masih terasa sakit saat lengan saya bersinggungan dengan orang
yang lewat.
Saya kira kemalangan akan berhenti di sana, namun ternyata
tidak.
Saya yang mulai bisa beraktivitas normal mulai mengirimkan
lamaran kerja ke sana-sini. Mengikuti berbagai tes dan sampai di tahap akhir
wawancara. Tapi anehnya hanya sampai di sana.
Entah apa yang salah, apakah cara bicara saya? Entah, namun
kemalangan tak kunjung lepas.
Rasanya satu tahun itu kejadiannya terus berulang. Mengirimkan
lamaran, mengikuti serangkaian tes, memasuki wawancara akhir, dan kembali
berhenti. Terus berulang seperti itu.
Sambil mengisi waktu luang, saat itu saya memang banyak
membaca buku. Buku-buku yang saya kumpulkan saat kuliah kembali saya baca ulang.
Begitupun beberapa buku bahasa asing yang sengaja saya beli untuk menambah
kelancaran bahasa, dan beberapa buku latihan yang berhubungan dengan kelas TOEFL
yang saat itu sedang saya ikuti.
Hingga pada satu titik saya memutuskan menuliskan pendapat
saya tentang buku-buku yang pernah saya baca.
Ya, saya membuat sebuah blog dan mulai menulis di sana.
Hanya untuk jurnal agar saya ingat isi dari buku-buku yang pernah saya baca.
Anehnya pengalaman menulis itu membuat saya bahagia. Walau dengan
tulisan yang masih tak karuan, saya mulai terus dan terus menulis. Bahkan mulai
menulis fiksi, yang dulu saat kuliah hanya saya lakukan di sela-sela kesibukan, yang bahkan tak pernah rampung.
Kamu tahu apa ajaibnya? Setelah menulis, kehidupan saya seolah
mulai berjalan kembali. Pelan tapi pasti saya mulai mendapatkan penghasilan,
lantas membuka sebuah toko online. Saya bahkan menulis dua buah novel di salah
satu platform dan mendapatkan penghasilan dari sana walau tak seberapa.
Dan saya mulai menyadari sesuatu.
Diri saya yang mulai menuangkan segalanya lewat tulisan, mulai
lebih dari mampu menggerakan roda kehidupan yang sempat berkarat. Saat itu pendapatannya
memang masih tak seberapa, tapi mampu membuat saya bangkit kembali dari
keterpurukan.
“Menulis itu seperti berbicara kepada diri sendiri, penyembuhan tanpa batasan. Ia cara untuk mendengarkan hati yang terdalam.” – Anna Frank, penulis The Diary of a Young Girl
Sempat berhenti karena disibukkan dengan pesanan yang tak
ada henti, kini saya kembali menulis. Mengikuti beberapa kelas, membaca
buku maupun ebook sesuai ilmu yang saya minati, dan rutin mencari informasi.
Saya masih ingin meneruskan mimpi saya saat itu. Hidup dari
menulis, dan meninggalkan kenangan indah lewat tulisan.
Saya ingin dikenang lewat tulisan, pun ingin menenangkan jiwa
lewat tulisan.
Terakhir, saya ingin berbagi kalimat ini:
"Jika kamu lelah, maka menulislah. Jika kamu sedih, maka menulislah. Dan jika kamu bahagia, maka menulislah. Poin pertama untuk mengistirahatkan pikiranmu, poin kedua untuk meredakan emosimu, dan poin ketiga untuk kamu baca disaat kamu mengalami kedua poin sebelumnya." - Fatmasari Ruwa
Teruslah menulis, karena menulis tak hanya berguna bagi
orang yang membaca tulisanmu, namun juga dirimu sendiri.
0 Comments