Warna - Sebuah Cerpen

by - Oktober 16, 2024

 



“Hari ini dia lagi senang,” ujarku, “Jatuh cinta, mungkin? Warnanya merah muda. Bukan merah muda yang berani, tapi lebih ke kalem gitu. Tebakan gue, dia udah tahu kalau si cowok ini suka berat sama dia, makanya emosinya gak menggebu-gebu kayak orang yang baru aja menang lotre.”

Mataku menelisik ke arah seorang gadis yang sedang berjalan menuju ke bilik kerjanya. Kursinya tak jauh dari kursi kerjaku, hanya terpaut satu bilik dan satu jalur untuk berjalan.

Itu Desya, gadis dengan senyuman paling memukau yang selalu menjadi penghiburanku dikala suntuk saat bekerja. Aku pernah menyukainya, meski hanya jatuh cinta dalam diam.

“Hai Vin, lo gak makan siang?” tanyanya pada Vino yang duduk di seberang meja kerjaku, berjibaku dengan tumpukan kertas yang sudah tak terorganisir lagi susunannya.

“Sebentar lagi. Mending gue gak makan siang daripada gak dapet gaji,” umbarnya tak kalah penat dengan meja kerjanya saat ini. Ia memang baru saja mendapat teguran keras dari Pak Helmi, atasan kami, dan diminta untuk segera memperbaiki laporan yang dibuatnya sebelum meeting dimulai.

Aku tersenyum simpul. Walau tertutup bilik, bisa kulihat jelas warnanya yang muncul ke permukaan.

Merah marun.

Kali ini aku tahu jelas nama warnanya. Merah yang cenderung lebih gelap. Ada tambahan warna hitam di dalamnya, namun tak sepekat warna aslinya.

Ah, tiba-tiba aku ingat nama band itu.

“Lo sih cari perkara. Udah gue bilang iyain aja kalo Pak Helmi maunya begitu. Malah lo tetep gak mau kalah. Berakhir revisi semua ‘kan jadinya?” kata Desya sambil memerhatikan Vino. Raut wajahnya memang cukup menggelikan.

“Udah deh, lo gak usah tambahin beban gue. Biarin gue konsentrasi selesain semua kerjaan sebelum Pak Helmi tiba-tiba dateng dan cari perkara lagi.”

Dari kursiku bisa kulihat kepala Vino yang bergerak, bergegas menatap Desya yang masih berdiri di sampingnya.

“Wih, Des. Lagi berbinar-binar nih kayaknya,”  ujarnya. Mungkin mencari penghiburan demi tetap waras di sela-sela pekerjaan yang tak ada habisnya.

Desya tersenyum lebar. “Lo tahu anak HR yang sering ajak gue makan siang, ‘kan? Semalem pas kita pulang bareng dia bilang suka, dan mau menjalin hubungan serius sama gue.”

Tanpa melepas pandangan, Vino mengangguk. “Berarti dari awal dia beneran suka sama lo. Gue kira cuma tebar pesona aja,” balasnya.

Desya menggeleng. “Dari awal gue udah tahu kalau dia naksir. Maksud gue, effortnya kelihatan jelas. Bahkan dari hal yang sepele sekalipun.”

Lihat, analisaku tak pernah salah. Walau hanya bermodalkan warna yang kulihat, aku jelas bisa tahu emosi yang sedang dirasakannya.

“Tuhkan, bener tebakan gue. Lo sih susah banget percaya sama gue.” Kali ini aku ikut menyahut, mengikuti ritme percakapan mereka.

“Lo sih gak pernah peka sama sekitar. Gak kayak Galih. Padahal lo berdua sering ngumpul. Kemana-mana bareng, masih aja lo gak bisa nyamain kepekaan dia.”

Ucapan Desya jelas membuatku sedikit bangga. Ya, kelebihan ini tentunya membuatku sangat peka pada sekitar. Tak jarang aku memberikan sedikit saran yang berguna untuk Vino, sahabatku yang tak peka itu.

“Ngomongin Galih, gue jadi keinget sesuatu.” Vino mengelus kepalanya. Kebiasannya yang sering dilakukan saat ingin memulai perbincangan dengan topik yang tak menyenangkan.

Merasa tak enak, aku lantas memajukkan badan. “Vin, lo jangan ngomong yang aneh-aneh, ya!”

“Lo tahu kan, kalau Galih tuh sempet suka sama lo-”

Sraak!

Tubuhku seketika berdiri dengan suara kursi bergeser yang nyaring di udara. Aku mulai tak suka arah pembicaraannya.

“Vin! Udah gue bilang jangan ngomong yang aneh-aneh,” ujarku kesal,” Dan jangan suka ikut campur sama urusan gue!”

Keduanya yang terkaget menatap lurus ke depan, ke arahku.

Hening. Tak ada balasan dari keduanya.

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aku memang pernah menyukainya, namun segera menguburnya begitu menyadari cinta yang tak berbalas itu. “Des, lo gak usah dengerin omong kosong Vino. Dan lo,”-tanganku menujuk ke arah Vino-“lo jangan ngomong hal aneh apapun tentang gue lagi.”

Vino hanya diam tak berkutik. Ia kini berdiri sempurna, menatapku dengan tatapan yang membingungkan. Di sampingnya, Desya menggenggam erat lengan baju Vino, seolah mencari perlindungan dengan ekspresi ketakutan.

“Udahlah, gue mau ngerokok dulu.” Merasa malas, aku segera beranjak pergi. Bisa kulihat tadi warna di sekitar mereka berubah menghitam. Takut. Mungkin karena amarahku.

Entahlah. Beberapa waktu belakangan ini aku merasa tak enak. Ada rasa yang hilang dan membuatku mudah tersulut emosi.
 *
 
Kakiku melangkah memasuki lift yang pintunya sudah terbuka lebar. Segera kutekan tombol menuju lantai dasar, untuk bergegas ke arah smoking area yang letaknya di samping gedung kantor, dekat tempat parkir.

Pintu lift seketika tertutup. Kini menampilkan diriku yang tampak rapi dengan kemeja berwarna biru polos. 

Segera kurapikan sedikit kerah baju yang ternyata sedikit terangkat, entah sejak kapan.

Aku memerhatikan lamat-lamat bayangan diriku yang tercermin di pintu lift.

Benar.

Sudah beberapa hari ini aku tak bisa melihat warnaku. Entah itu biru seperti biasanya, atau merah karena sedang tersulut emosi.

Di mana warnaku? Warna yang menemaniku sejak aku kecil, yang dulunya kupikir sama seperti pakaian, dan semua orang bisa melihat warna yang sama, seperti yang setiap hari kulihat.

Dulu aku selalu mendeskripsikan orang-orang berdasarkan warna yang muncul di sekelilingnya.

Om warna biru, tante lucu berwarna jingga, adik manis berwarna kuning, atau kakak cantik berwarna merah muda.

Kupikir itu hanyalah sebatas kain penutup tubuh. Kain ajaib yang bisa berubah warna sewaktu-waktu.

Hingga akhirnya mama yang merasa khawatir membawaku ke dokter, memeriksakan diriku yang menurutnya mengalami gejala buta warna.

Aku tertawa mengingatnya. Aku ingat dengan jelas mama yang bertanya apa warna pakaian yang sedang dipakai dokter, yang dengan lantang kujawab warna putih, warna jas yang saat itu dipakainya.

Beberapa saat setelah keluar dari ruang dokter, mama terheran. Ia menggumam pada dirinya sendiri, merasa heran kenapa aku bisa menjawab benar semua angka-angka itu. Angka di pola warna yang saat itu aku tak paham apa fungsinya.

Menghiraukan mama yang masih terlarut di pikirannya, aku menatap lolipop di tanganku. 

Warnanya cerah, dengan dua warna yang saling mengitar dan membentuk pola melingkar. Bisa kubayangkan rasanya manis, semanis tampilannya.

Aku memerhatikan lamat-lamat lolipop di tanganku. Lolipop pemberian dokter baik hati tadi. Ingin rasanya segera mencicipinya, tapi khawatir mama akan marah bila aku memakannya tanpa seizinnya.

Mataku menatap mama yang masih asik dengan pikirannya. Entahlah, aku malas memikirkan apa yang masih berputar di kepalanya.

Mencoba memberanikan diri, aku menarik pelan tangannya seraya berkata, “Mah, om dokter hijau tadi kasih aku lolipop. Boleh kumakan sekarang?”

Pupil mama segera membulat, menatapku tak percaya.

“Gaaliih! Harusnya kamu tadi ngomong gitu ke dokternya ….” ujar mama dengan penekanan namaku di awal.

Aku hanya menatapnya tak mengerti, lantas mengangkat kedua bahu. Siapa juga yang bisa tahu kalau dokter hijau itu akan memberiku permen lolipop?
 
*
 
Mengingat masa lalu membuat emosiku mereda. Kini aku tak lagi mengingat ucapan Vino yang tadi membuatku kesal.

Beradu pandangan dengan diriku di pintu lift, aku tersenyum simpul. Seharusnya saat ini warnanya sudah kembali biru, batinku.
 
*
 
Di smoking area aku melihat ruangan itu penuh dengan orang-orang. Tampaknya aku tak bisa merokok saat ini, pikirku.

Bukan, bukan karena aku tak bisa masuk ke dalam sana karena penuh. Namun karena di sana, para atasan sedang asik mengobrol. Aku jelas menolak tegas bila harus tertawa karier, bahkan pada jam istirahat.

Merasa tak lapar tapi tak ingin kembali segera, aku memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar gedung saja. Berjalan tak tentu arah, sambil mendinginkan pikiranku yang tak jelas akhir-akhir ini.

Di sekitar gedung tempatku bekerja ada sungai dengan aliran air yang tenang. Warnanya menenangkan dengan beberapa ikan yang kadang masih terlihat di permukaan. Setahuku sungai ini cukup dalam, itulah kenapa banyak warga yang suka memancing di sana.

Namun karena sedang panas terik, tak kulihat satupun orang di sana. Membuatku bisa menikmati pemandangan indah ini seorang diri.

Di perjalanan itu kulihat ada seseorang yang sedang berdiri sambil menggenggam pagar jembatan, menatap diam pada air tenang di bawahnya.

Tapi ada yang aneh pada orang itu. Warnanya … hitam pekat.

Menyadari hal itu kakiku segera berlari ke arahnya. Jembatan itu cukup panjang, butuh waktu untuk bisa sampai ke sana, terlebih aku sedang berada di sisi sungai.


“TETAP DI SANA! JANGAN LOMPAT!” teriakku sambil terus berlari ke arahnya. Berharap ia mendengar permintaanku.

Byurr!

Terlambat. Orang itu melompat ke tengah sungai. Aku yang hampir bisa mencapainya termangu sesaat.

Air yang awalnya tenang seketika beriak akibat gerakan orang itu. Panik, tentu saja aku berteriak kencang meminta tolong pada siapa saja, yang mungkin bisa mendengarku.

Orang itu sungguh pintar mencari tempat. Sepi. Tak ada siapapun di sini, selain diriku yang bagai orang gila, berteriak kencang seorang diri.

Merasa tak ada siapapun yang bisa dimintai tolong, aku bergegas menuju ke sisi sungai. Berharap mungkin ada sesuatu yang bisa kupakai untuk menolongnya karena aku tak bisa berenang.

Namun air yang beriak tadi perlahan kembali tenang. 

Dengan terengah, aku kembali berteriak. Meminta tolong, lantas memanggil laki-laki yang tadi menceburkan dirinya di sungai, berharap ia mendengar panggilanku lantas berenang ketepian. 

Bodoh memang.

Tapi kebodohan itu tampaknya tak berakhir sia-sia. Samar-samar kulihat seseorang naik ke permukaan. 

Ia terengah, namun terus mencoba berenang ketepian.

Segera tanganku terjulur ke arahnya, sambil terus meneriakinya untuk tetap semangat berenang sampai ke sisi sungai.

Aku berhasil menggengam tangannya. Menariknya ke atas hingga kakinya kembali menyentuh tanah.

Dan dengan napasnya yang terengah, ia masih bisa mengucap terima kasih kepadaku.

Mencoba menetralkan napas yang tak kalah terengahnya aku menepuk pelan pundaknya. Berharap menyalurkan sedikit kekuatan yang kumiliki kepadanya.

Mataku lantas menatap air tenang yang kini menampilkan bayangan kami berdua di bawah panasnya sinar matahari di siang itu. Bibirku terangkat sedikit, tertawa sekilas menatap bayangan itu.

“Lihat, sekarang kau juga tak punya warna.”

Ingatanku sekilas beranjak ke beberapa hari yang lalu.

Hari di mana aku kehilangan warnaku, saat mobil yang kutumpangi terperosok ke dalam jurang.

You May Also Like

0 Comments