Apakah Nonfiksi Lebih Baik Dari Fiksi? Simak 5 Alasan Mengapa Membaca Fiksi Sama Pentingnya
"Bacalah minimal dua buku dalam satu bulan, satu buku fiksi dan satu buku non fiksi. Fiksi untuk hati, dan non fiksi untuk kepala."
J.S. Khairen
J.S. Khairen
Jika kamu mengikuti salah satu sosial media milik J.S. Khairen, kamu
pasti sering melihat kutipan kalimat di atas.
Ya, kutipan ini sering sekali dilontarkan beliau baik melalui akun twitter
maupun Instagram miliknya. Padahal beliau adalah seorang penulis fiksi, namun
masih menyempatkan diri untuk membaca nonfiksi.
Kalau penulis fiksi saja membaca nonfiksi, apakah menurutmu nonfiksi lebih baik dari buku fiksi?
Belum tentu.
Kamu masih perlu mengoreksi rasa, mencicipinya, lantas menambahkan bahan-bahan lain yang menurutmu dibutuhkan untuk mendapatkan rasa yang kamu inginkan, bukan?
Rasa itulah yang kita namakan fiksi. Tak terlihat, hanya bisa dirasakan, bahkan masing-masing orang punya ‘rasa’ masing-masing. Ada yang menyukai makanan dengan bumbu seminimal mungkin, ada pula yang lebih menyukai rasa yang kuat dan khas. Semua bisa dikatakan enak bergantung pada selera masing-masing.
Lantas apakah ada perbedaannya kepada orang yang hanya membaca fiksi atau nonfiksi saja dalam kehidupan? Sebelum itu ada baiknya kita pahami perbedaan antara fiksi dan nonfiksi.
Fiksi merepresentasikan kita sebagai manusia dalam skala lingkungan sosial. Sebagaimana kamu yang melihat tetanggamu yang terkena musibah, lantas hatimu tergerak untuk ikut membantu.
Fiksi membantu hatimu tetap hidup.
Jika fiksi berisi cerita yang tidak merujuk pada kebenaran faktual maupun sejarah, maka nonfiksi bersifat sebaliknya. Nonfiksi mengacu pada kebenaran faktual berupa sejarah, hasil ilmiah, atau sesuatu yang mengacu pada kerangka acuan pasti.
Nonfiksi membuat otakmu bekerja lebih baik. Sebagaimana guru yang mengajarkan muridnya, hanya saja dalam bentuk tulisan.
Sederhananya, nonfiksi menciptakan segala kemungkinan yang sebelumnya bahkan tak terpikirkan olehmu. Melatih kemampuanmu berpikir
Coba bayangkan kamu sedang berjalan bersama seorang teman di suatu jalanan yang tampak sepi. Tak lama kamu bertemu seorang kakek tua yang kesulitan membawa dua kantung kresek di kedua tangannya.
Selidik punya selidik, ternyata kantung itu berisi banyak buah-buahan, dan tentunya sangat berat tak hanya untuknya, namun tentu saja untukmu dan temanmu.
Temanmu lantas berkata, “Mestinya kakek itu bawa stroller, atau paling enggak pakai kain biar pegangannya gak terasa sakit.”
Apa yang temanmu katakan memang ada benarnya. Kain yang dililitkan pada pegangan kantung bisa sangat membantu saat membawa barang berat.
Tapi hal itu tidak menyelesaikan masalah.
Berbeda dengan temanmu, kamu segera bertindak dengan menolong sang kakek membawa barang belanjaannya. Walau kamu juga merasa kesulitan saat mengangkatnya, kamu tetap membawa kedua kantungnya, persis seperti yang sebelumnya dilakukan oleh sang kakek.
Apa yang kamu lakukan adalah hasil dari kebiasaanmu mengasah empati, salah satunya melalui cerita fiksi. Dan ide temanmu adalah hasil dari kebiasaannya melatih otaknya, terutama dalam hal problem solving, dan hal itu bisa didapatkan dari kebiasaan membaca buku nonfiksi.
Andai kamu dan temanmu bekerja sama, kalian tak hanya dapat membantu seorang kakek tua, melainkan membuat pekerjaan membantu tersebut jadi lebih mudah.
Nonfiksi membuatmu pintar, dan fiksi akan melengkapinya dengan dengan aksi.
Masih sulit untuk diterima? Mungkin kamu butuh tahu 5 alasan mengapa membaca fiksi sama pentingnya dengan nonfiksi.
Kalau penulis fiksi saja membaca nonfiksi, apakah menurutmu nonfiksi lebih baik dari buku fiksi?
Filosofi Makanan
Ibarat membuat sebuah makanan, maka nonfiksi mengajarkan kita tentang bahan-bahan yang diperlukan beserta takaran dan langkah-langkahnya. Namun apa menurutmu rasanya akan enak?Belum tentu.
Kamu masih perlu mengoreksi rasa, mencicipinya, lantas menambahkan bahan-bahan lain yang menurutmu dibutuhkan untuk mendapatkan rasa yang kamu inginkan, bukan?
Rasa itulah yang kita namakan fiksi. Tak terlihat, hanya bisa dirasakan, bahkan masing-masing orang punya ‘rasa’ masing-masing. Ada yang menyukai makanan dengan bumbu seminimal mungkin, ada pula yang lebih menyukai rasa yang kuat dan khas. Semua bisa dikatakan enak bergantung pada selera masing-masing.
Lantas apakah ada perbedaannya kepada orang yang hanya membaca fiksi atau nonfiksi saja dalam kehidupan? Sebelum itu ada baiknya kita pahami perbedaan antara fiksi dan nonfiksi.
Perbedaan Fiksi dan Nonfiksi
Fiksi adalah cerita rekaan yang hanya bersifat khayalan, namun memiliki makna yang terkandung di dalamnya. Fiksi sendiri bisa berupa cerpen, novel, puisi, dan sebagainya. Dalam penerapannya, cerita fiksi sering diekspresikan dalam bentuk film, drama, teater, maupun animasi yang sering kita lihat sehari-hari.Fiksi merepresentasikan kita sebagai manusia dalam skala lingkungan sosial. Sebagaimana kamu yang melihat tetanggamu yang terkena musibah, lantas hatimu tergerak untuk ikut membantu.
Fiksi membantu hatimu tetap hidup.
Jika fiksi berisi cerita yang tidak merujuk pada kebenaran faktual maupun sejarah, maka nonfiksi bersifat sebaliknya. Nonfiksi mengacu pada kebenaran faktual berupa sejarah, hasil ilmiah, atau sesuatu yang mengacu pada kerangka acuan pasti.
Nonfiksi membuat otakmu bekerja lebih baik. Sebagaimana guru yang mengajarkan muridnya, hanya saja dalam bentuk tulisan.
Sederhananya, nonfiksi menciptakan segala kemungkinan yang sebelumnya bahkan tak terpikirkan olehmu. Melatih kemampuanmu berpikir
Nonfiksi Tanpa Fiksi
Nonfiksi tanpa fiksi, atau sebaliknya, fiksi tanpa nonfiksi. Apakah menurutmu akan bekerja?Coba bayangkan kamu sedang berjalan bersama seorang teman di suatu jalanan yang tampak sepi. Tak lama kamu bertemu seorang kakek tua yang kesulitan membawa dua kantung kresek di kedua tangannya.
Selidik punya selidik, ternyata kantung itu berisi banyak buah-buahan, dan tentunya sangat berat tak hanya untuknya, namun tentu saja untukmu dan temanmu.
Temanmu lantas berkata, “Mestinya kakek itu bawa stroller, atau paling enggak pakai kain biar pegangannya gak terasa sakit.”
Apa yang temanmu katakan memang ada benarnya. Kain yang dililitkan pada pegangan kantung bisa sangat membantu saat membawa barang berat.
Tapi hal itu tidak menyelesaikan masalah.
Berbeda dengan temanmu, kamu segera bertindak dengan menolong sang kakek membawa barang belanjaannya. Walau kamu juga merasa kesulitan saat mengangkatnya, kamu tetap membawa kedua kantungnya, persis seperti yang sebelumnya dilakukan oleh sang kakek.
Apa yang kamu lakukan adalah hasil dari kebiasaanmu mengasah empati, salah satunya melalui cerita fiksi. Dan ide temanmu adalah hasil dari kebiasaannya melatih otaknya, terutama dalam hal problem solving, dan hal itu bisa didapatkan dari kebiasaan membaca buku nonfiksi.
Andai kamu dan temanmu bekerja sama, kalian tak hanya dapat membantu seorang kakek tua, melainkan membuat pekerjaan membantu tersebut jadi lebih mudah.
Nonfiksi membuatmu pintar, dan fiksi akan melengkapinya dengan dengan aksi.
Masih sulit untuk diterima? Mungkin kamu butuh tahu 5 alasan mengapa membaca fiksi sama pentingnya dengan nonfiksi.
#1. Fiksi mengajarkanmu empati
“When you read a novel, you become another person, and emphaty is created.” – Azar Nafisi
Walau hanya berbentuk karangan, seringkali fiksi memberikan pengalaman baru melalui karakter-karakter di dalamnya. Menariknya, saat membaca cerita fiksi, kamu akan diajarkan untuk melihat dari sudut pandang berbeda, latar belakang berbeda, maupun pemikiran yang berbeda. Kamu akan turut merasakan kesedihan, marah, atau kebahagiaan sesuai tokoh di dalamnya.
#2. Fiksi membawamu menjelajah dunia yang berbeda
Bagaimana rasanya menjadi seseorang
yang menunggang kuda dengan baju zirah lengkap dan menggenggam erat pedang di
tengah pertempuran sengit antar dua koloni? Jika itu kamu, mungkin kamu akan kesulitan
menjelaskan perasaanmu.
Takut? Cemas? Semua rasa itu pasti bercampur di dalam dadamu. Tentu berbeda dengan keseharianmu yang terus menatap layar di meja kerja, bukan?
Walau sangat kecil kemungkinannya terjadi di dunia nyata, kamu jadi paham bahwa peperangan bukan hanya tentang menang dan kalah, namun juga bagaimana mentalitas orang-orang yang berada di dalamnya, maupun korban-korban yang tak terlibat, namun turut terkena dampaknya.
Takut? Cemas? Semua rasa itu pasti bercampur di dalam dadamu. Tentu berbeda dengan keseharianmu yang terus menatap layar di meja kerja, bukan?
Walau sangat kecil kemungkinannya terjadi di dunia nyata, kamu jadi paham bahwa peperangan bukan hanya tentang menang dan kalah, namun juga bagaimana mentalitas orang-orang yang berada di dalamnya, maupun korban-korban yang tak terlibat, namun turut terkena dampaknya.
#3. Fiksi memberikan realitas dengan cara berbeda
Fiksi tak melulu tentang kisah cinta antar dua sejoli. Katakanlah novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, yang mengangkat tema tentang kerusuhan tahun 1998. Begitu kamu membaca novelnya, kamu tak hanya mendapatkan informasi penting mengenai apa yang terjadi di tahun itu, mengapa kerusuhan bisa terjadi, atau apa yang para mahasiswa harapkan hingga rela bertaruh nyawa demi mendapat apa yang diinginkannya.
Lewat fiksi, kamu akan diajarkan cara menangkap kenyataan di tengah cerita yang menghibur.
#4. Fiksi menantang imajinasi
Novel Harry Potter yang pertama kali terbit tahun 1997 sukses besar dan mendapat atensi lebih berkat filmnya. Karyanya sendiri kini telah diterjemahkan ke dalam 85 bahasa (sumber: jkrowling.com).
J.K. Rowling membuktikan bahwa novel fiksi sekalipun memiliki seni yang tak ternilai harganya. Dengan imajinasinya yang tak terbatas, ia mampu menciptakan satu dunia sihir yang kini dikenal di seluruh dunia.
Hal ini menjelaskan bahwa imajinasi tak ternilai harganya, dan cerita fiksi adalah sala satu media untuk melepasliarkan imajinasi.
#5. Fiksi menghibur dan memberikan pelarian yang sehat
Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan terbesar dari cerita fiksi adalah sifatnya yang menghibur dan memberi pelarian dari kejenuhan yang seolah tak berujung.
Walau dipandang tak berguna, pada kenyataannya membaca fiksi menjadi pelarian yang sehat dan memberikan kita ‘jeda’ dari rutinitas yang melelahkan. Fiksi memberikan kita energi baru dalam menghadapi setiap masalah yang terus muncul ke permukaan.
Kesimpulan: Tidak ada yang ‘lebih baik’ antara fiksi dan nonfiksi
Meski nonfiksi dipandang lebih bermanfaat karena memuat banyak pengetahuan, kenyataannya fiksi bisa membuatmu menghargai setiap usaha dan kerja keras.Dengan membaca fiksi, kamu seolah memandang dunia dengan banyak teropong. Memahami diri sendiri dan orang lain dengan kacamata yang tepat.
Jadi, bukan tentang memilih mana yang lebih baik, melainkan mana yang kamu butuhkan untuk dirimu saat ini. Bila kamu merasa lelah dengan dunia dan seisinya, atau kamu merasa terlalu sempurna di dunia yang tak ada apa-apanya, maka bacalah fiksi.
Namun bila kamu membutuhkan suatu keahlian untuk dapat bertahan hidup, maka bacalah nonfiksi. Seimbangkan keduanya, maka kamu dapat memahami bagaimana dunia dan seisinya bekerja.
Fiksi membuat hatimu tetap hidup, dan nonfiksi membuat otakmu tetap
bekerja.
0 Comments