Apakah Nonfiksi Lebih Baik Dari Fiksi? Simak 5 Alasan Mengapa Membaca Fiksi Sama Pentingnya



"Bacalah minimal dua buku dalam satu bulan, satu buku fiksi dan satu buku non fiksi. Fiksi untuk hati, dan non fiksi untuk kepala." 
J.S. Khairen

Warna - Sebuah Cerpen

 



“Hari ini dia lagi senang,” ujarku, “Jatuh cinta, mungkin? Warnanya merah muda. Bukan merah muda yang berani, tapi lebih ke kalem gitu. Tebakan gue, dia udah tahu kalau si cowok ini suka berat sama dia, makanya emosinya gak menggebu-gebu kayak orang yang baru aja menang lotre.”

Mataku menelisik ke arah seorang gadis yang sedang berjalan menuju ke bilik kerjanya. Kursinya tak jauh dari kursi kerjaku, hanya terpaut satu bilik dan satu jalur untuk berjalan.

Itu Desya, gadis dengan senyuman paling memukau yang selalu menjadi penghiburanku dikala suntuk saat bekerja. Aku pernah menyukainya, meski hanya jatuh cinta dalam diam.

“Hai Vin, lo gak makan siang?” tanyanya pada Vino yang duduk di seberang meja kerjaku, berjibaku dengan tumpukan kertas yang sudah tak terorganisir lagi susunannya.

“Sebentar lagi. Mending gue gak makan siang daripada gak dapet gaji,” umbarnya tak kalah penat dengan meja kerjanya saat ini. Ia memang baru saja mendapat teguran keras dari Pak Helmi, atasan kami, dan diminta untuk segera memperbaiki laporan yang dibuatnya sebelum meeting dimulai.

Aku tersenyum simpul. Walau tertutup bilik, bisa kulihat jelas warnanya yang muncul ke permukaan.

Merah marun.

Kali ini aku tahu jelas nama warnanya. Merah yang cenderung lebih gelap. Ada tambahan warna hitam di dalamnya, namun tak sepekat warna aslinya.

Ah, tiba-tiba aku ingat nama band itu.

“Lo sih cari perkara. Udah gue bilang iyain aja kalo Pak Helmi maunya begitu. Malah lo tetep gak mau kalah. Berakhir revisi semua ‘kan jadinya?” kata Desya sambil memerhatikan Vino. Raut wajahnya memang cukup menggelikan.

“Udah deh, lo gak usah tambahin beban gue. Biarin gue konsentrasi selesain semua kerjaan sebelum Pak Helmi tiba-tiba dateng dan cari perkara lagi.”

Dari kursiku bisa kulihat kepala Vino yang bergerak, bergegas menatap Desya yang masih berdiri di sampingnya.

“Wih, Des. Lagi berbinar-binar nih kayaknya,”  ujarnya. Mungkin mencari penghiburan demi tetap waras di sela-sela pekerjaan yang tak ada habisnya.

Desya tersenyum lebar. “Lo tahu anak HR yang sering ajak gue makan siang, ‘kan? Semalem pas kita pulang bareng dia bilang suka, dan mau menjalin hubungan serius sama gue.”

Tanpa melepas pandangan, Vino mengangguk. “Berarti dari awal dia beneran suka sama lo. Gue kira cuma tebar pesona aja,” balasnya.

Desya menggeleng. “Dari awal gue udah tahu kalau dia naksir. Maksud gue, effortnya kelihatan jelas. Bahkan dari hal yang sepele sekalipun.”

Lihat, analisaku tak pernah salah. Walau hanya bermodalkan warna yang kulihat, aku jelas bisa tahu emosi yang sedang dirasakannya.

“Tuhkan, bener tebakan gue. Lo sih susah banget percaya sama gue.” Kali ini aku ikut menyahut, mengikuti ritme percakapan mereka.

“Lo sih gak pernah peka sama sekitar. Gak kayak Galih. Padahal lo berdua sering ngumpul. Kemana-mana bareng, masih aja lo gak bisa nyamain kepekaan dia.”

Ucapan Desya jelas membuatku sedikit bangga. Ya, kelebihan ini tentunya membuatku sangat peka pada sekitar. Tak jarang aku memberikan sedikit saran yang berguna untuk Vino, sahabatku yang tak peka itu.

“Ngomongin Galih, gue jadi keinget sesuatu.” Vino mengelus kepalanya. Kebiasannya yang sering dilakukan saat ingin memulai perbincangan dengan topik yang tak menyenangkan.

Merasa tak enak, aku lantas memajukkan badan. “Vin, lo jangan ngomong yang aneh-aneh, ya!”

“Lo tahu kan, kalau Galih tuh sempet suka sama lo-”

Sraak!

Tubuhku seketika berdiri dengan suara kursi bergeser yang nyaring di udara. Aku mulai tak suka arah pembicaraannya.

“Vin! Udah gue bilang jangan ngomong yang aneh-aneh,” ujarku kesal,” Dan jangan suka ikut campur sama urusan gue!”

Keduanya yang terkaget menatap lurus ke depan, ke arahku.

Hening. Tak ada balasan dari keduanya.

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Aku memang pernah menyukainya, namun segera menguburnya begitu menyadari cinta yang tak berbalas itu. “Des, lo gak usah dengerin omong kosong Vino. Dan lo,”-tanganku menujuk ke arah Vino-“lo jangan ngomong hal aneh apapun tentang gue lagi.”

Vino hanya diam tak berkutik. Ia kini berdiri sempurna, menatapku dengan tatapan yang membingungkan. Di sampingnya, Desya menggenggam erat lengan baju Vino, seolah mencari perlindungan dengan ekspresi ketakutan.

“Udahlah, gue mau ngerokok dulu.” Merasa malas, aku segera beranjak pergi. Bisa kulihat tadi warna di sekitar mereka berubah menghitam. Takut. Mungkin karena amarahku.

Entahlah. Beberapa waktu belakangan ini aku merasa tak enak. Ada rasa yang hilang dan membuatku mudah tersulut emosi.