“Hari ini dia lagi
senang,” ujarku, “Jatuh cinta, mungkin? Warnanya merah muda. Bukan merah muda
yang berani, tapi lebih ke kalem gitu. Tebakan gue, dia udah tahu kalau si
cowok ini suka berat sama dia, makanya emosinya gak menggebu-gebu kayak orang
yang baru aja menang lotre.”
Mataku menelisik ke arah seorang gadis yang sedang berjalan menuju ke bilik kerjanya. Kursinya tak jauh dari kursi kerjaku, hanya terpaut satu bilik dan satu jalur untuk berjalan.
Itu Desya, gadis dengan
senyuman paling memukau yang selalu menjadi penghiburanku dikala suntuk saat bekerja.
Aku pernah menyukainya, meski hanya jatuh cinta dalam diam.
“Hai Vin, lo gak makan
siang?” tanyanya pada Vino yang duduk di seberang meja kerjaku, berjibaku
dengan tumpukan kertas yang sudah tak terorganisir lagi susunannya.
“Sebentar lagi. Mending gue gak makan siang daripada gak dapet gaji,” umbarnya tak kalah penat dengan meja kerjanya saat ini. Ia memang baru saja mendapat teguran keras dari Pak Helmi, atasan kami, dan diminta untuk segera memperbaiki laporan yang dibuatnya sebelum meeting dimulai.
Aku tersenyum simpul.
Walau tertutup bilik, bisa kulihat jelas warnanya yang muncul ke permukaan.
Merah marun.
Kali ini aku tahu jelas
nama warnanya. Merah yang cenderung lebih gelap. Ada tambahan warna hitam di
dalamnya, namun tak sepekat warna aslinya.
Ah, tiba-tiba aku ingat
nama band itu.
“Lo sih cari perkara.
Udah gue bilang iyain aja kalo Pak Helmi maunya begitu. Malah lo tetep gak mau
kalah. Berakhir revisi semua ‘kan jadinya?” kata Desya sambil memerhatikan
Vino. Raut wajahnya memang cukup menggelikan.
“Udah deh, lo gak usah
tambahin beban gue. Biarin gue konsentrasi selesain semua kerjaan sebelum Pak
Helmi tiba-tiba dateng dan cari perkara lagi.”
Dari kursiku bisa kulihat
kepala Vino yang bergerak, bergegas menatap Desya yang masih berdiri di
sampingnya.
“Wih, Des. Lagi berbinar-binar
nih kayaknya,” ujarnya. Mungkin mencari
penghiburan demi tetap waras di sela-sela pekerjaan yang tak ada habisnya.
Desya tersenyum lebar.
“Lo tahu anak HR yang sering ajak gue makan siang, ‘kan? Semalem pas kita
pulang bareng dia bilang suka, dan mau menjalin hubungan serius sama gue.”
Tanpa melepas pandangan,
Vino mengangguk. “Berarti dari awal dia beneran suka sama lo. Gue kira cuma
tebar pesona aja,” balasnya.
Desya menggeleng. “Dari
awal gue udah tahu kalau dia naksir. Maksud gue, effortnya kelihatan
jelas. Bahkan dari hal yang sepele sekalipun.”
Lihat, analisaku tak
pernah salah. Walau hanya bermodalkan warna yang kulihat, aku jelas bisa tahu
emosi yang sedang dirasakannya.
“Tuhkan, bener tebakan
gue. Lo sih susah banget percaya sama gue.” Kali ini aku ikut menyahut,
mengikuti ritme percakapan mereka.
“Lo sih gak pernah peka
sama sekitar. Gak kayak Galih. Padahal lo berdua sering ngumpul. Kemana-mana
bareng, masih aja lo gak bisa nyamain kepekaan dia.”
Ucapan Desya jelas
membuatku sedikit bangga. Ya, kelebihan ini tentunya membuatku sangat peka pada
sekitar. Tak jarang aku memberikan sedikit saran yang berguna untuk Vino,
sahabatku yang tak peka itu.
“Ngomongin Galih, gue
jadi keinget sesuatu.” Vino mengelus kepalanya. Kebiasannya yang sering
dilakukan saat ingin memulai perbincangan dengan topik yang tak menyenangkan.
Merasa tak enak, aku
lantas memajukkan badan. “Vin, lo jangan ngomong yang aneh-aneh, ya!”
“Lo tahu kan, kalau Galih
tuh sempet suka sama lo-”
Sraak!
Tubuhku seketika berdiri
dengan suara kursi bergeser yang nyaring di udara. Aku mulai tak suka arah
pembicaraannya.
“Vin! Udah gue bilang
jangan ngomong yang aneh-aneh,” ujarku kesal,” Dan jangan suka ikut campur sama
urusan gue!”
Keduanya yang terkaget
menatap lurus ke depan, ke arahku.
Hening. Tak ada balasan
dari keduanya.
Aku menggaruk kepala yang
tak gatal. Aku memang pernah menyukainya, namun segera menguburnya begitu
menyadari cinta yang tak berbalas itu. “Des, lo gak usah dengerin omong kosong
Vino. Dan lo,”-tanganku menujuk ke arah Vino-“lo jangan ngomong hal aneh apapun
tentang gue lagi.”
Vino hanya diam tak
berkutik. Ia kini berdiri sempurna, menatapku dengan tatapan yang membingungkan.
Di sampingnya, Desya menggenggam erat lengan baju Vino, seolah mencari
perlindungan dengan ekspresi ketakutan.
“Udahlah, gue mau
ngerokok dulu.” Merasa malas, aku segera beranjak pergi. Bisa kulihat tadi
warna di sekitar mereka berubah menghitam. Takut. Mungkin karena amarahku.
Entahlah. Beberapa waktu
belakangan ini aku merasa tak enak. Ada rasa yang hilang dan membuatku mudah
tersulut emosi.