Photos

3-latest-1110px-slider

Semua Orang Ditakdirkan Menjadi Penjual



Saya dulu pernah beranggapan gak akan menjadi wirausaha, persis seperti yang kedua orang tua saya pernah jalani. Alasannya satu, saya gak bisa jualan.

Tapi begitu dewasa, kenyataan pahit menerjang alasan klise yang saya buat di usia labil itu. Menyadari bahwa yang sedang saya lakukan saat itu (mengirimkan lamaran ke beberapa perusahaan) termasuk kegiatan menjual. Iya, menjual skill yang saya punya, untuk ditukar dengan rupiah di akhir bulan.

Rupanya skill berjualan itu yang seharusnya saya asah sedari dini. Misal saya gak berwirausaha, setidaknya saya mampu show off tentang kemampuan yang saya miliki, seperti pedagang yang menjual barang unik layaknya show di pasar-pasar. Jadi gak ada lagi tuh adegan drama nganggur berbulan-bulan.


Pekerja = Penjual

Gak cuma pedagang yang menjual barang dagangan. Kamu yang bekerja 9-5 di kantor juga seorang penjual. Cuma bedanya, yang kamu jual adalah skill kamu. Kemampuan yang dibayar oleh perusahaan.

Content creator? Seniman? Mereka semua juga menjual. Seniman menjual seni yang mereka ciptakan, dan content creator menjual kontent yang mereka buat.

Saya jadi ingat seseorang pernah bilang, kalau kamu punya kemampuan menjual, maka apa saja bisa menghasilkan. Bahkan tanpa modal sekalipun.



Kamu Gak Perlu Merasa Bersalah Saat Membaca Novel



Kamu yang suka baca atau bahkan baru mulai membaca, pasti ada kalanya pernah merasa berdosa karena terus-terusan membaca novel, yang kata orang gak ada gunanya. Gak perlu takut, semua orang juga pernah merasa hal yang sama, kok!

Tapi ada hal yang kamu lupa, terkadang ada hal yang gak butuh alasan untuk kamu sukai. Novel mungkin terkesan tak punya arti khusus, cuma sekedar pelarian dari kehidupan yang melelahkan. Tapi sebenarnya, novel juga punya segudang manfaat, tanpa kamu sadari.

Kamu yang sekarang suka baca buku, pasti awalnya dari buku cerita, bukan? Waktu kecil kamu pasti pernah membaca buku cerita, majalah, atau komik yang sebenarnya juga lebih bersifat hiburan. Tapi kenapa saat dewasa jadi anti banget sama novel?


Novel bukan sekedar hiburan

Novel atau buku fiksi yang kamu baca itu sebenarnya punya manfaat besar dalam menumbuhkan empati di dirimu. Terutama semakin dewasa, kita cenderung mengutamakan logika di atas segalanya. Dan novel jadi salah satu pelarian agar tetap bisa menjadi 'manusia'. 

Novel itu seolah menggambarkan kehidupan orang lain dengan segudang masalah yang mungkin gak pernah kita alami dalam hidup. Dan hal itu yang mengajarkan kita rasa dari hal yang belum pernah kita coba.

Novel menciptakan rasa baru yang belum pernah kita rasakan. Persis seperti seseorang yang mencoba rasa makanan dari kedai lain. Tampilannya mungkin sama seperti makanan yang dihidangkan di kedai langganan. Namun rasa, tentu masing-masing orang memiliki kemampuan menciptakan rasa yang berbeda.


Novel tak bisa digantikan oleh buku nonfiksi

Ada salah satu tulisan saya tentang apakah nonfiksi lebih baik dari fiksi. Pada kenyataannya, setelah kamu membacanya kamu pasti mengerti bahwa keduanya tak bisa saling tergantikan. 

Kamu butuh keduanya untuk bisa tetap hidup. Butuh novel fiksi untuk menjagamu menjadi 'manusia', dan butuh buku nonfiksi untuk menjaga otakmu tetap berfungsi dan bermanfaat di kemudian hari.

Tak ada yang salah antara membaca novel, komik, artikel, jurnal, self development, dan sebagainya. Masing-masing tulisan memiliki perannya masing-masing. Hanya tinggal kamu yang memilah, mana yang sekiranya bermanfaat dan mana yang tidak.

Tak perlu merasa bersalah ketika kamu membaca novel. Karena novel justru akan membawamu mengenal buku-buku luar biasa lainnya.


2 Minute Rule : Trik Simpel Buat Kamu Atasi Rasa Malas



Berawal dari muncul satu video di beranda Youtube berjudul "Untuk yang ambisius tapi malas," saya jadi menemukan konsep menarik untuk mengatasi rasa malas di mana saya kesulitan untuk konsisten terutama dalam hal menulis. 

Konsep yang akan saya bahas sekaligus dijabarkan pada video tersebut bernama 2 minutes rule. Dalam video tadi, dijelaskan bahwa konsisten bisa dimulai dari hal remeh-temeh, seperti yang saya tulis dalam artikel sebelumnya, dan kemudian dilanjutkan dengan trik melawan rasa malas hanya dalam waktu 2 menit.


Apa itu 2 minute rule?

Konsep 2 minute rule sebenarnya populer banget di dunia produktivitas. Sederhananya, kalo kamu lagi di momen maleees banget, paksa diri untuk melakukan aktivitas tersebut selama 2 menit. 

Iya, 2 menit. Beneran deh cuma 2 menit aja.

"Lah, kalo misal lagi males masak, terus cuma masak 2 menit mana jadi, Kak?"

Nah itu dia kunciannya. Kamu lakukan aja hal yang biasa kamu lakukan di awal saat ingin memasak. Misal, keluarin berbagai bahan makanan yang diperlukan dan mulai mencuci bersih segala sayur dan bahan lain. Kalau udah lewat 2 menit ya udah, kamu bebas mau balikin bahan-bahan tersebut ke dalam kulkas lagi atau lanjut masak.

"Ya sama aja dong, mending sekalian aja masak sampe selesai."

Justru itu tujuannya. Hahaha...

Sadar gak sih, kamu tuh cuma butuh 'penggerak'. Ibarat setrikaan, harus dicolokin dulu di saklar biar bisa panas, baru bisa dipakai. Kalau gak dicolok, ya gak akan bisa dipakai setrikanya.

"Oo, jadi cuma kayak ngumpulin niat, ya?"

Oh, jelas beda! Kalau cuma sekedar niat, mau nunggu sampe upin-ipin jadi boyband juga gak akan terlaksana. Yang kamu butuhin cuma satu, "bergerak", udah itu aja. Bergeraknya pun cuma 2 menit, gak lebih, gak kurang.

Gampang, kan?


Setelah 2 menit harus apa?

Setelah 2 menit kamu berkutat di kegiatan tersebut, kamu bebas kok melakukan apapun. Mau lanjut silahkan, mau rebahan lagi ya monggo. Hak kamu mau melakukan apa setelah 2 menit itu.

Yang penting, kamu bergerak. 

Masih ingat kan artikel sebelumnya yang tentang belajar konsisten dari hal kecil? Kamu cuma butuh mulai sedikit daripada gak sama sekali. Lebih baik naik 1%, atau bahkan 0,0001% setiap harinya daripada cuma 0.

Jadi ya... bergerak aja dulu, 2 menit aja.